Thursday, April 9, 2020

Bandung 1999 (19)

Kupejamkan mataku dipembaringan. Kubayangkan kejadian tadi siang yang seakan mimpi buatku. Lalu ku buka diary kesayanganku dan aku tulis semuanya kebahagiaanku disana. Tiba-tiba aku teringat perkataan Mas Andre tentang Ricky. Aku seharusnya minta maaf padanya. Aku sadar bahwa kesalahan tidak seluruhnya ada pada Ricky, tapi juga ada padaku.

Seharusnya kukatakan kalau aku sudah punya tunangan, jadi tidak terjadi kesalahpahaman. Maafkan aku Ricky, aku tidak bisa menerima cintamu, kalau saja kau lebih awal mengenalku, Mungkin aku akan memilihmu titik tapi kau adalah laki-laki kedua setelah seseorang mengisi hatiku. Karena itu, sejak awal sudah kukatakan kalau aku hanya bisa menganggapmu sebagai teman dan selamanya akan begitu. Kututup diary ku.

Kucoba pejam kan mata, dan tanpa sadar aku pun sudah tertidur pulas. Ku dambakan kehidupan baru di keesokan hari, yang akan kujalani, masa depan yang telah menanti ku bersama Mas Andre.

Kuharap Ricky dapat menerima keputusan ku dan dapat memaafkan ku. Ku doakan semoga dia menemukan gadis impiannya.


Bandung 1999 (18)

Hamparan indah pantai Carita, itulah tempat yang biasa kami kunjungi dan disanalah terkumpul banyak kenangan bagi kami berdua. Dan disana pula Mas Andre pertama kali menyatakan cinta padaku.

Hari ini begitu sepi tidak terlalu banyak pengunjung. Dan itu sangat bagus buat kami, hampir kita bisa bicara bebas tanpa terganggu oleh siapapun titik sehingga kami bisa bercerita dengan tenang dan saling melepas rindu setelah sekian lama terpendam.

Kami saling bercerita tentang pengalaman kami. Selalu ku ceritakan tentang Ricky.

"Apa kau mencintainya?" tanya Mas Andre.

"Aku sayang padanya, dia sudah sudah  ku anggap seperti saudaraku sendiri. Tapi dibalik itu semua dia menyalahartikan perhatianku dan membuatku merasa bersalah." Ucapku penuh penyesalan.

"Seharusnya kau katakan sebelumnya tentang kita, agar dia tidak salah paham"

"Apa Mas marah?" tanyaku.

"Tentu tidak sayang... buat apa marah?" kulihat senyuman manis di bibirnya dan itu sangat membuat aku lega. "Itu sudah berlalu, tapi suatu hari aku ingin bertemu dengannya untuk berterima kasih karena telah menjaga mu dengan baik dan kamu juga harus minta maaf sama dia juga berterima kasih padanya." Ucapnya yang ku iringi dengan anggukan ku.

"Cuma itu, apa mas tidak akan berbuat apa-apa lagi padanya?"
"Berbuat apa? Apakah aku harus berkelahi dengannya hanya karena dia telah berani mencintai kamu, itu tidak mungkin karena dia......" ucapannya terpotong membuatku penasaran apa kelanjutannya.

"Dia apa?" tanyaku penasaran.

"Karena dia tidak mungkin menang dariku, karena kau mencintaiku dan selamanya akan menjadi miliku" ucapnya yakin sekali.

"Pede banget! Kalau disamber orang tau rasa nanti!" Sambil kucubit tangannya, dan dia hanya membalas dengan tawa riang.

Kami pun berlarian di pinggir pantai saling berkejaran sampai-sampai baju kami pun basah tersembur deburan ombak. Nafas kami terengah-engah. kembalikan dan kau atur nafasku yang tadi sempat tak beraturan. Dan tiba-tiba kurasakan sebuah pelukan erat menyentuh tubuhku titik kubiarkan pelukan itu semakin erat karena di dalam pelukan tersebut aku merasakan kedamaian.

"Aku mencintaimu. Apa jadinya kalau aku sampai kehilanganmu. Aku selalu merasa gelisah jika jauh darimu dan berpikir mungkin saja kau akan meninggalkanku" ucapnya pelan, tepat di sisi telinga kanan ku.

"Mengapa mas beranggapan begitu, aku selalu memegang teguh amanat yang kau berikan padaku, kalau kau tidak percaya lihatlah aku selalu memakai cincin pemberianmu!" Kutunjukkan cincin yang kupakai.

"Terima kasih, karena kau selalu memakainya"

"Tentu saja."

Kemudian mas Andre membalik tubuhku, hingga kami saling berhadapan. Mata kami saling memandang dan kulihat di sana sepasang mata yang begitu sejuk, yang selama ini telah membuat ku jatuh cinta padanya. Dengan lembutnya dia membelai rambutku dan merapikannya, yang terurai acak-acakan karena tertiup angin pantai.

"Aku sangat bahagia karena telah mengenalmu" ucapnya sambil mengecup keningku, aku hanya tersenyum lalu kami pun berpelukan erat, erat sekali, kurasakan kebahagiaan yang begitu dalam.

Tiba-tiba Mas Ande mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.

"Apakah kau mau menikah denganku?" tanyanya dan seketika itu juga ku lepaskan tanganku karena saking kagetnya. 
"Kenapa kelihatannya kamu shock sekali mendengarnya?" Kulihat dia tertawa dengan perubahan sikapku. "Sayang apa ada yang aneh dengan pertanyaanku?" Tanyanya lagi.

Mas Andre Aku ini masih SMEA kelas 3 jawab ku

"Lho.. memangnya siapa yang ngajak kamu nikah sekarang, aku cuma tanya kok!" Ucapnya sambil tertawa karena telah berhasil mempermainkanku. Aku hanya bisa mencubit nya dan kulihat dia meringis. "Aku akan menunggumu sampai kamu lulus kuliah, bahkan sampai kapanpun, tidak ada yang dapat memisahkan kita, kecuali maut." ucapnya yang kini membuatku merinding.

"Mas jangan bicara begitu, saya akan takut"

"Kenapa takut, kan ada aku di sini. Jadi mau ya, sama aku tidak mau ada penolakan" ucapnya pelan penuh harapan. Ku anggukan kepala ku tanda setuju lalu dia memelukku lagi.

Bandung 1999 (17)

Saat itu Diwan sedang berjalan kembali ke meja,  sambil membawa segelas minuman dia mendekat ke arah kami berdua, dia tersenyum lebar dan berkata "Surprise....!!!", membuat aku menyadari kalau pertemuan aku dengan Mas Andre sudah dirancang sedemikian rupa oleh mereka berdua. Namun satu hal yang mengganjal yaitu tentang surat yang diberikan oleh Diwan.

Diwan kemudian menarik kursi dan duduk satu meja bersama kami. Kemudian dia bertanya kepada ku "Jadi sekarang kau sudah bisa jawab dong...? Bagaimana? Kamu mau kan...?"

"Mau apa sih?" Jawab ku.

"Mau ku ajak ke sini buat ketemu Mas Andre!" balas Diwan.

"Jadi...?" ucap ku terpotong

"Iya...Orang kamunya juga udah sampai di sini!" balas Diwan lagi.

"Ha..ha..ha.. emang Diwan bilang apa waktu mau mengajak kamu ke sini?" Mas Andre pun ikut dalam pembicaraan.

"Mana ku tau, aku cuma disuruh ikut sama Diwan" ucap ku.

Akhirnya Diwan menceritakan bahwa surat yang dia sampaikan kepada ku adalah surat dari Mas Andre. Surat itu isinya sebenarnya adalah ajakan Mas Andre untuk makan bersama di restoran ini.

Diwan pun tau kalau aku belum sempat membaca surat itu. Diwan bercerita bahwa setelah terjadi perkelahian dengan Ricky pada pagi hari di waktu lalu, ia menemui kembali Ricky pada sore harinya. Meskipun sempat terjadi ketegangan antara mereka berdua, akhirnya Diwan dapat menjelaskan kepada Ricky bahwa Diwan tidak memiliki tujuan atau perasaan apa-apa pada aku.

Diwan menjelaskan kepada Ricky bahwa surat yang dia berikan adalah surat dan Mas Andre sepupu Diwan. Dan Diwan juga menjelaskan kepada Ricky bahwa Mas Andre sudah memiliki hubungan khusus dengan aku sejak dua tahun yang lalu. Yang pada akhirnya Ricky pun dengan berat hati dapat memahaminya. Namun sepertinya Ricky sengaja tidak mau menemui diri ku, mungkin dia perlu menenangkan diri.

Aku pun baru tau kalau ternyata Diwan adalah sepupu Mas Andre. Dan surat yang disampaikan kepada ku adalah surat dari Mas Andre yang memberi tahukan kalau dia kembali ke Badung lebih cepat karena telah menyelesaikan tugasnya. Awalnya Mas Andre mau menjemput ku sepulang dari sekolah, namun dari dengan kejadian tersebut, justru membuat Diwan dan Mas Andre membuat rencana untuk memberikan kejutan kepada ku dengan mempertemukan Mas Andre di Restoran ini.

Selesai makan dan bercengkrama,

"Pulang yuk?" ajak Mas Andre sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Gombal! Memang siapa yang mau pulang sama situ?" candaku "Aku kan tadi sama Diwan!" lanjut ku.

"Kamu pulang sama aku, atau terpaksa aku gendong kamu sampai mobil!" ancamannya.
"Coba aja kalau berani" tantang ku.

"Bener nih?" ucapnya nya dan ternyata dia serius mau menggendong ku kalau tidak cepat-cepat ku larang.

"Enggak deng... aku cuma bercanda kok Aku mau pulang sama Mas."

"Serius juga nggak apa-apa, iya ga Wan" ucapnya sambil bertanya canda kepada Diwan. Kulihat senyum lebar di bibir Mas Andre yang membuat lesung pipit nya terlihat.

Bersama dengan Diwan, Mas Andre mengantar ku pulang dengan mobil sedan birunya.

Bandung 1999 (16)

Beberapa menit berselang, aku masih tetap galau menunggu Diwan. Ku tengok ke arah meja pelayanan restoran, kulihat Diwan masih berbincang dengan pelayan di sana.

Tiba-tiba saja secara mengejutkan terdengar suara seorang laki-laki "Halo gadis kecilku, apa kabar?" yang tanpa ku sadari telah duduk di kursi yang berada  dihadapan ku. Suaranya tidak asing lagi di telinga ku, dan seketika itu juga hatiku tercengang bingung.

"Itu suara Mas Andre! " batinku mengucap, di tengah suasana hatiku yang kebingungan..

Aku mengenal Mas Andre dua tahun lalu.

Aku bertemu dengannya dalam sebuah seminar tentang remaja dan tidak sengaja kami bertubrukan, sejak saat itu aku mulai dekat dengannya. Dia laki-laki pertama dalam hidupku yang telah mengubah penampilan ku tentang laki-laki bahwa tidak semua laki-laki itu jahat. Maka aku berani ketika Ricky ingin mengenalku.

Mas Andre selalu membimbingku, menasehatiku dan membantuku jika ada kesulitan. Berada di dekatnya aku merasa aman kasih sayang di antara kami mengalir begitu saja. Dia tidak pernah menuntut apa-apa dari ku seperti yang lakukan Ricky.

Setelah satu tahun bersamanya aku mesti kehilangan dia, karena dia dipindahtugaskan ke Singapura. Pas hari keberangkatan nya, terlihat sekali dia begitu berat meninggalkan aku kemudian dia mengeluarkan sebuah kotak. Dia membukanya, dan ternyata di dalamnya ada sebuah cincin. Dia lalu memasangkannya di jari manisku. Sebelum pergi dia memintanya untuk menjaga cincin ini baik-baik dan memintaku untuk sabar menunggunya kemudian kurasakan kecupan manis di keningku.

Dari hari kehari aku terus menunggunya, tapi dari sini aja rasanya aku tidak bisa berpaling ke lain hati, makanya aku tidak bisa mencintai Ricky, karena aku terlanjur mencintai Mas Andre juga karena aku sudah punya amanat darinya.

Aku tidak bermaksud mempermainkan perasaan Ricky dan manfaatkan kesepianku. tapi sejak awal sudah kukatakan padanya kalau aku hanya bisa menganggapnya sebagai teman. Kalau akhirnya dia jatuh cinta kepadaku karena aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Bertemu dengan Mas Andre tentu kejutan yang sangat menyenangkan bagi ku. Tapi aku coba sembunyikan perasaan gembira aku yang sebenarnya. 

Ku hadapkan pandanganku ke arahnya tanpa tersenyum sedikitpun, dan aku coba mendirikan mataku. "Deuh..! Ceritanya marah nih..?" godanya.
"Jangan suka marah loh, nanti cepet tua, cepat keriput deh...! Kalau mukamu cemberut gitu sama persis kayak tutut! "Godanya lagi yang kini sambil mencubit kedua pipiku. Tapi tetap saja aku tidak menggubrisnya.

"Sayang ya nggak ada kamera, pasti kalau difoto hasilnya akan bagus, kamu tahu enggak hasilnya seperti apa? Itu tuh... Kaya yang ada di dalam uang kertas lima ratusan pasti mirip deh " godannya... dan kini membuatku tidak bisa menahan tawaku.

"Ih..  jahat! Mas Andre jahat deh!" ucapku sambil mencubit tangannya.

"Aduh sakit dong!" ucap Mas Andre.

"Biarin habis bercanda melulu!" kilah ku.

"Kalau enggak digituin pasti masih marah deh dan nggak ketawa lagi padahal aku sudah rindu senyumanmu!" Ucapnya sambil memandangku tanpa berkedip sedikitpun membuatku salah tingkah.

Dibalik kegembiraan ku betemu dengan Mas Andre, hati kecil ini masih bertanya bagaimana ini bisa terjadi? Dengan raut wajah kebingunan, akupun menoleh kembali ke arah meja pelayanan untuk mencari Diwan.

Bandung 1999 (15)

"Teeettt.. Teeettt... Teeettt....!" bel tanda berakhir pelajaran hari ini berbunyi. Aku pun mengemas buku-buku dan alat tulis ke dalam tas.

Beberapa teman ku satu per satu keluar dari kelas, aku pun mulai bangkit dari kursi. Saat itu aku masih bingung, apakah aku harus mengikuti ajakan Diwan atau tidak.

Keluar dari kelas, mata ku langsung menuju ke arah kelas Diwan, ku lihat dia berbincang dengan beberapa temannya, namun setelah melihat ku Diwan langsung menyela pembicaraan untuk sekedar keluar dari kumpulan teman-temannya dan bergerak ke arah ku.

"Ayu kita berangkat!" Ajaknya.

"Kemana?" jawab ku.

"Kamu ikut aja, ya...!" kembali Diwan meminta.

"Iya, tapi ikut kemana?" jawab ku lagi.

"Kamu tenang aja, ikut aku, aku ga akan macam-macam kok!" tegasnya.

Meskipun dengan ragu, akhirnya akupun menuruti ajakan Diwan. Kami naik angkot menuju ke arah pusat kota. Setibanya disebuah restoran, angkot pun diminta berhenti oleh Diwan dan kami berjalan menuju restoran tersebut.

Restoran tersebut cukup menarik, sepertinya dulunya adalah rumah tinggal yang memiliki halaman cukup luas. Dengan konsep semi outdoor, restoran ini seakan tempat yang menyenangkan untuk tempat nongkrong anak-anak muda, atau pun pasangan yang berpacaran.

Kami tiba disebuah meja yang telah tertata sajian makanan ringan dan dua gelas minuman dingin yang terlihat cukup menyegarkan.

"Silahkan kita di sini!" ucapnya kepada ku,seraya mempersilakan aku untuk duduk. Lalu Diwan seperti memperhatikan sajian yang sudah ada di meja.

"Kamu tunggu sebentar ya... ini sepertinya ada pesanan yang kurang" Diwan pun berjalan ke arah meja pelayanan restoran tersebut.

Aku hanya bisa duduk dan diam di hadapan sajian makanan, sambil menunggu Diwan. Namun dalam pikiran ku begiatu galau, menerawang jawaban dari pertanyaan Diwan yang sebenarnya tak pernah tau sama sekali?

Bandung 1999 (14)

Pagi ini kembali aku tidak bisa fokus pada aktivitas harian ku, hati ku masih merasa sangat tidak tenang, kejadian kemarin, perkelahian Rick dengan Diwan masih membayangi pikiran ini. Aku pun berangkat agak terlambat menuju sekolah.

Seturunnya dari angkot, aku berlari menuju gerbang sekolah yang hampir ditutup penjaga sekolah. Dan terus aku berlari menuju kelas ku. Sejenak kutengok wajah ku ke kelasnya sebelah ku untuk melihat Diwan. Memperhatikan bagaimana keadaannya, namun di kelasnya sudah masuk guru pengajar.

Begitu pula di kelas ku, Bu Sri, guru akutansi baru saja memasuki kelas, aku pun segera masuk, sebelum ia memulai pelajaran.

Selesainya jam mata pelajaran akutansi, ku sempatkan untuk menemui Diwan di kelasnya.

"Diwan!" ku panggil namanya, masih bisa ku lihat memar diwajahnya bekas perkelahian dia kemarin.

"Hei...!" jawabnya, Diwan pun bangkit dari kursinya menuju tempat ku yang berdiri dekat pintu masuk kelasnya.

"Kamu tidak berkelahi lagi kan? dengan Ricky" tanya ku.

"Kenapa...? sepertinya kamu perhatian sekali sama aku?" balasnya.

"Eh... enggak, aku cuma mau tau saja" sambil ku perhatikan dia, sepertinya selain memar akibat perkelahian pagi kemarin, seperti dia baik-baik saja.

Aku pikir tak perlu aku bertanya lebih jauh, sekali lagi aku tak ingin ada lagi laki laki yang salah pengertian dengan perhatian yang terlalu berlebihan kepadanya.

"Aku ga papa kok!" ucapnya, namun seketika itu Diwan langsung menanyakan aku soal isi surat yang dia berikan pada ku. "Terus kamu gimana, kamu mau kan?"

"Mau apa?" jawab ku.

"Kan kemarin sudah ku kasih surat."
"Gini deh.. Nanti siang sepulang sekolah kamu ikut aku ya...?" pintanya.

"Ikut ke mana?" tanya ku balik.

"Udah pokoknya kamu ikut aja, nanti di sana baru kamu jawabnya" tegasnya.

Aku pun bingung harus jawab apa, sedangkan suratnya, yang telah disobek-sobek dan dibuang Ricky tak pernah dan tak mungkin akan ku baca.

"Sampai nanti ya!" ucap Diwan, tanpa sempat aku jawab, karena lalu dia langsung kembali masuk ke dalam kelas, melihat guru pelajaran berikutnya sudah mendekat ke kelasnya.

Tuesday, April 7, 2020

Bandung 1999 (13)

Menjelang pulang sekolah aku masih terbayang kejadian pagi tadi, aku khawatir jika Diwan masih terus mau melayani tantangan Ricky.

"Teeettt.. Teeettt... Teeettt....!"

Bel pun berbunyi tanda mata pelajaran terakhir hari ini selesai, namun Pak Jajang, guru matematika yang mengajar di kelas ku saat itu tidak langsung berhenti mengajar, selama beberapa menit dia masih menjelaskan penyelesaian contoh soal yang diajarkannya.

Aku pun gelisah dan tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran, karena aku berpikir bahwa harus segera menemui Diwan di kelas sebelahku, mencegah dia menemui Ricky lagi.

Di akhir penyelesaian contoh soal, Pak Jajang masih meminta kami untuk membuka buku untuk menandai halaman yang terdapat soal-soal latihan yang diberikan sebagai PR untuk dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.

Setelah Pak Jajang meninggalkan kelas ku, aku pun segera berkemas dan langsung berlari menuju kelas Diwan. Namun ku dapati kelasnya sudah kosong, hanya ada empat orang siswi yang masih terlihat sedang ngobrol di dalam kelas tersebut. Tak satupun dari mereka mengetahui keberadaan Diwan.

Aku terus berlari ke gerbang sekolah, sambil terus mencari Diwan. Dan terus ke depan sekolah namun masih tidak kutemui Diwan. Kuhampiri beberapa anak laki laki yang bisa ku lihat bersama Diwan, mereka pun tidak tahu di mana Diwan. Salah satu temannya bilang kalau Diwan sudah pergi sendiri karena ada urusan pribadi, cuma itu informasi yang bisa ku dapat.

Akhirnya aku pun pulang, karena aku tak tau harus kemana lagi mencari Diwan. Aku cuma bisa berharap semoga Diwan maupun Ricky tidak meneruskan perkelahian mereka tadi pagi. Aku tidak ingin ada salah satu dari mereka yang terluka. Karena kalau itu terjadi aku merasa menjadi orang yang paling bersalah atas kejadian tersebut.

Sendainya mereka benar-benar saling bertemu sore ini, semoga mereka bisa menyelesaikan dengan cara yang baik, tanpa harus berkelahi, apalagi sampai ada yang terluka.

Bandung 1999 (12)

Pagi ini kembali aku berangkat ke sekolah sendiri, padahal aku berharap bisa bertemu Ricky untuk bisa meminta maaf dan memberikan penjelasan padanya. Namun sepertinya hingga kini ia masih belum mau menemuiku.

Setiba di depan gang aku pun menyetop angkot untuk ikut naik menuju sekolah. Pada saat di dalam angkot tersebut ku bertemu dengan Rani, teman sekolah ku yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ricky.

"Tumben kamu enggak sama Ricky?" tanya Rani.

"Enggak apa apa kok!" jawab ku.

"Tadi aku lihat Ricky, sepertinya wajahnya tidak biasa, kalian berantem ya?" tanyanya lagi.

"Eh.. lihat Ricky di mana?" aku pun lebih ingin tau keberadaan Ricky dari pada menjawab pertanyaannya.

Rani pun menceritakan kalau sebelum naik angkot dia sempat melihat Ricky dengan ekspresi yang sedang memendam amarah, dia terlihat seperti memikirkan sesuatu dan tidak fokus kepada sekelilingnya. "Dia tadi naik angkot yang sebelum ini" katanya.

Ku pikir Ricky pasti masih marah dengan ku, memang mungkin seharusnya aku lebih menjaga jarak dengannya sehingga apa yang terjadi saat ini tidak begini.

Setiba di depan sekolah ku, kami pun turun dari angkot. Alangkah terkejutnya aku, saat itu melihat kerumunan anak sekolah, sepertinya ada yang sedang berkelahi. Meskipun agak takut, aku pun mendekat dan kuperhatikan lagi dua anak laki laki yang berkelahi, di tengah kerumunan tersebut. Tiba tiba salah satu anak yang berkelahi tersebut sepertinya terhuyung ke arah ku. Dan ku kenali dia adalah Diwan, wajahnya terlihat sedikit merah di dekat mata kiri.

Di sisi yang berlawanan ternyata ku lihat wajah yang tidak asing, dia adalah Ricky, wajahnya terlihat merah penuh marah.

Ku pegang tangan Diwan, untuk menahan agar tidak meneruskan perkelahian. Ricky pun melihat ku sepertinya dia menahan diri karena melihat ku. Kemudian Ricky mengambil tas yang terletak di tanah, sambil memandang dan menunjuk Diwan dia berkata "Kita belum selesai, ku tunggu kau sore nanti!" kemudian dia pergi meninggalkan lokasi begitu saja.

Aku masih memegang tangan Diwan, karena aku khawatir dia akan mengejar Ricky. Setelah itu aku tarik Diwan dan ku temani menuju ruang UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk memberikan pengobatan terhadap memar yang ada di wajahnya.

Di ruang UKS, beberapa teman ada yang membantu mengambilkan obat dan yang lainnya mengoleskan obat luka di wajahnya. Saat itu aku masih mendampingi Diwan namun aku tidak banyak bicara padanya. Aku khawatir bila terlalu memberikan perhatian, nanti disalah artikan lagi oleh Diwan, seperti halnya yang terjadi pada Ricky, sedangkan aku tidak memiliki perasaan pun dengannya.

Bandung 1999 (11)

Keesokan hari aku berangkat ke sekolah sendiri, tidak ada Ricky menunggu untuk berangkat bareng di depan rumah ku atau depan gang tampat biasa kami menunggu angkot bersama. Begitu pun ketika pulang sekolah, aku tak melihat Ricky menunggu ku di halte seberang sekolah. Mungkin memang sebaiknya kami tidak bertemu dahulu untuk sementara, agar kami bisa menenangkan diri kami masing-masing.

Ketika itu, kembali aku kembali dikejutkan oleh tepukan tangan di pundak ku. Ternyata Diwan kembali menyapa, dia pun menanyakan tentang surat yang kemarin diberikan kepada ku. "Gimana..? Udah dibaca belum..?" tanya Diwan dengan senyum di wajahnya.

Aku pun bingung menjawabnya, sedangkan surat tersebut sudah disobek-sobek Ricky tanpa aku sempat membacanya. Aku hanya bisa diam dan memberikan senyuman walau pun aku dalam kebingungan.

Lalu Diwan kembali  mengatakan "Kamu pasti tidak menyangka... ya...?"

Lalu aku balas dengan penuh ragu "Iya..." pada hal aku tak mengerti sama sekali apa yang dimaksud oleh Diwan.

"Ya udah, jadi kamu mau kan..?" tanyanya lagi.

Aku pun hanya bisa terdiam kembali. Lalu Diwan kembali mengatakan "Udah ga perlu dijawab sekarang, nanti aja aku hubungi kamu lagi" kemudian ia pergi kearah teman temannya lagi seperti kemarin.

Aku menyeberangi jalan dan naik angkot untuk pulang. Pikiran ku gundah dan bercabang, di satu sisi aku sedang memikirkan bagaimana caranya untuk bisa meminta maaf kepada Ricky, kini ditambah persoalan baru tentang Diwan.

Sesampainya di rumah aku berusaha menenangkan diri, dan memilih untuk beristirahat lebih awal, berharap esok semua persoalan ku akan terjawab dengan cara yang baik dan kehidupan ku akan menjadi tenang kembali.

Bandung 1999 (10)

"Ky! Sakit!" rintihku, tapi Ricky sama sekali tidak peduli, dan tiba-tiba saja dia merebut surat yang ada di tanganku. Dan dengan marahnya dia merobek-robek surat itu sampai pecahan terkecil, lalu membuangnya ke tanah begitu saja.

"Kamu kejam Ricky! Kini ku tahu bagaimana sifatnya sebenarnya, kamu bukan Ricky yang ku kenal! Persahabatan kita putus sampai di sini!" sambil terisak ku berlari ke rumah tinggalkan Ricky tanpa peduli panggilannya.

Sampai di rumah aku langsung masuk kamar. Ku tumpahkan semua kesedihanku di peraduan dalam sunyi. Tidak kusangka Ricky aku kenal dulu telah berubah menjadi berang, egois dan pemarah.

Beberapa saat kemudian ku dengar ketukan di pintu kamar ku.

Sepertinya Ayah ku memperhatikan ku sejak tadi. Ku ceritakan kejadian tadi dan hubungan ku dengan Ricky pada Ayah. Ku merasakan kalau Ayah begitu memahami ku, namun dia tidak sepenuhnya mendukung sikap ku.

Dengan cara yang lembut ayah ku memberikan pengertian bahwa sikap yang ditunjukan oleh Ricky bukan kesalahan yang sepenuhnya ada pada Ricky. Menurutnya sikap yang ku berikan pada Ricky selama ini juga membuat Ricky menaruh harapan, dan itu sebelumnya tidak ku sadari. Bahwa waktu dan kebersamaan yang cukup sering aku lakukan bersama Ricky itu terlalu berlebihan untuk diberikan kepada seorang laki laki dengan status hanya sebagai teman.

Mungkin karena tidak pernah sekalipun ku dengar permintaan menjadi pacar dari Ricky, sehingga selama ini sikap ku terlalu terbuka dan mengangap hubungan kedekatan kami hanya sebagai teman saja.

Namun apa yang ayah sampaikan pada ku, aku pun memahaminya. Sekaligus menyadarkanku bahwa aku harus menjelaskan dan minta maaf kepada Ricky. Walau bagaimana pun marahnya Ricky pada ku hari ini, aku mengakui dia adalah anak laki laki yang baik, dan aku berharap ingin tetap bisa besahabat dengannya.

Bandung 1999 (9)

"Lalu selama ini kau anggap apa diriku?" gerutunya.

"Setelah kita saling mengenal cukup jauh, wajar saja kalau aku berharap sesuatu darimu bukan? Karena aku telah menghabiskan semua waktumu apakah itu sama sekali tidak berharga untukmu? Seharusnya kau tahu apa yang ku bicarakan dan mengerti apa yang aku mau!" ucapnya dengan aliran kata kata yang cepat, dan nada begitu marah.

"Jadi kau menyesal dengan apa yang telah kau lakukan padaku, Aku sangka kau begitu tulus mau menjadi temanku, ternyata di balik semua itu . . . " ucapan ku terputus karena Ricky memotong perkataanku.

"Teman, teman, teman..!? Apa cuma itu yang ada di dalam pikiranmu?"

Kali ini aku melihat semua wajahnya yang tiba tiba menjadi merah padam baru ini aku melihat dia begitu marah.

"Tidakkah kau mengerti perasaanku, atau mungkin memang kau lebih memilih dia ketimbang aku, ayo jawab!" ancamnya sambil mencekal tanganku.

Bandung 1999 (8)

"Teman?" ucapnya sinis. "Apa kau pikir dia hanya menganggapmu sebagai teman aku lihat gimana cara dia memandang mu kalau dia itu suka kamu!" teriaknya.

"Apa salahnya kalau dia suka aku, toh aku berteman denganmu karena aku juga suka sama kamu" jawab ku juga dengan suara yang lantang.

"Itu lain... aku yakin kalau dia naksir sama kamu!"

"Hari ini kamu aneh, omongan mu membuatku pusing, kamu tidak biasanya bersikap begini. Sebenarnya apa sih yang ingin kamu bicarakan?" balas ku.

"Kamu ingin tahu! Aku tidak suka kalau ada laki-laki yang mendekati kamu selain aku!" gertaknya, membuatku merasa takut.

"Apa maksud mu? Kamu mengancamku, kamu sama sekali tidak berhak mengatur dengan siapa aku bergaul. Aku berterima kasih padamu karena kau telah mengubah diriku menjadi sesuatu yang baru dalam hidupku, tapi bukan berarti kau bisa menentukan hidup ku!" ucap ku marah.