Setelah sekian lama kebisuan mengiringi kami, di depan Gang yang menuju rumah ku, akhirnya Ricky membuka pembicaraan.
“Hari ini kamu sedang bahagia yah..?” tanya Ricky kepada ku sinis.
“Maksud kamu...?” dengan terheran aku tanya ku balik.
“Alaaa...h, jangan pura-pura!” ucapnya kembali sinis.
“Pura-pura apa? Ngomong yang jelas dong, aku nggak ngerti apa yang kamu omongin!” balas aku dengan sedikit kesal.
“Baik, aku to the point aja. Siapa laki-laki itu?” tanyanya penuh selidik.
“Laki-laki mana?”
“Laki-laki yang ngasih surat itu kamu tadi!" Ricky menunjuk surat yang sedari tadi memang masih ku pegang di tangan. "Aku yakin itu surat cinta, makanya kamu senang sekali menerimanya.” tukasnya cukup yakin dan agak ngotot.
“Ricky, Ricky, kamu ini kenapa? Dia itu teman ku, namanya Diwan. Dengar, jangan sampai karena persoalan sepele, persahabatan kita jadi berantakan."
Tuesday, June 30, 2009
Tuesday, June 23, 2009
Bandung 1999 (6)
Hubungan “pertemanan” aku dan Ricky pun terus berjalan.
Hingga pada suatu hari, sepulang sekolah, ketika itu Ricky sudah mengunggu ku di halte seberang jalan depan sekolah ku. Aku sudah melihatnya setelah aku melewati sedikit saja pintu gerbang sekolah karena memang sangat sering Ricky mejemput ku dan halte itu adalah “pos” jaganya.
Aku memang pernah minta dia, jika mapu pulang bareng untuk menunggu di seberang saja, karena kadang aku suka risih dengan beberapa teman yang suka menyapa dengan nada menggoda akan hubungan kami, yang sebenarnya hanya sebatas teman dekat saja.
Aku pun berjalan menuju halte tersebut. Kulihat Ricky pun sudah melihat ku, dengan pandangan cerah, menanti ku. Sesaat ku berhenti di tepi jalan, ku tengokan kepala ku ke kanan untuk memperhatikan kendaraan yang melintas dan ku menunggu aman untuk menyeberang.
Ketika aku hedak menyeberang, tiba-tiba seseorang menepuk punggungku dari belakang dan memegang lengan ku. Dia Diwan, teman sekolah yang kelasnya bersebelahan dengan ku.
Kami sempat berbicara sebetar, Diwan terlihat agak grogi namun aku tetap menanggapinya dengan tersenyum, tak lama dari saku bajunya dia mengeluarkan amplop, dan langsung dia berikan kepada ku dengan menyampaikannya di telapak tangan kanan ku, seraya mengucapkan“tolong dibaca aja ya”. Lalu Diwan pergi menuju beberapa temannya yang sepertinya memang memang sedang menunggunya.
Tak lama aku pun menyeberang, dengan sepucuk surat masih ku pegang di tangan.
Setibanya di seberang jalan, tiba-tiba Ricky menarik lengan ku, tanpa peduli kalau aku merasa agak kesakitan karena dia mecengkram lengan ku dengan cukup kuat. Di saat itu sebuah angkot dengan tujuan kami biasa gunakan berhenti di hadapan kami untuk menurunkan penumpang, Ricky pun langsung menarik ku naik angkot tersebut.
Baru di angkot yang kami langsung tumpangi Ricky melepas tanganku. Selama perjalannya dalam angkot, Ricky membisu, kulihat wajahnya seperti sedang marah.
“Kiri Pak!” Ucap ku kepada sopir angkot, sesampainya di depan gang rumah ku, angkot yang kami tumpangi pun berhenti.
Hingga pada suatu hari, sepulang sekolah, ketika itu Ricky sudah mengunggu ku di halte seberang jalan depan sekolah ku. Aku sudah melihatnya setelah aku melewati sedikit saja pintu gerbang sekolah karena memang sangat sering Ricky mejemput ku dan halte itu adalah “pos” jaganya.
Aku memang pernah minta dia, jika mapu pulang bareng untuk menunggu di seberang saja, karena kadang aku suka risih dengan beberapa teman yang suka menyapa dengan nada menggoda akan hubungan kami, yang sebenarnya hanya sebatas teman dekat saja.
Aku pun berjalan menuju halte tersebut. Kulihat Ricky pun sudah melihat ku, dengan pandangan cerah, menanti ku. Sesaat ku berhenti di tepi jalan, ku tengokan kepala ku ke kanan untuk memperhatikan kendaraan yang melintas dan ku menunggu aman untuk menyeberang.
Ketika aku hedak menyeberang, tiba-tiba seseorang menepuk punggungku dari belakang dan memegang lengan ku. Dia Diwan, teman sekolah yang kelasnya bersebelahan dengan ku.
Kami sempat berbicara sebetar, Diwan terlihat agak grogi namun aku tetap menanggapinya dengan tersenyum, tak lama dari saku bajunya dia mengeluarkan amplop, dan langsung dia berikan kepada ku dengan menyampaikannya di telapak tangan kanan ku, seraya mengucapkan“tolong dibaca aja ya”. Lalu Diwan pergi menuju beberapa temannya yang sepertinya memang memang sedang menunggunya.
Tak lama aku pun menyeberang, dengan sepucuk surat masih ku pegang di tangan.
Setibanya di seberang jalan, tiba-tiba Ricky menarik lengan ku, tanpa peduli kalau aku merasa agak kesakitan karena dia mecengkram lengan ku dengan cukup kuat. Di saat itu sebuah angkot dengan tujuan kami biasa gunakan berhenti di hadapan kami untuk menurunkan penumpang, Ricky pun langsung menarik ku naik angkot tersebut.
Baru di angkot yang kami langsung tumpangi Ricky melepas tanganku. Selama perjalannya dalam angkot, Ricky membisu, kulihat wajahnya seperti sedang marah.
“Kiri Pak!” Ucap ku kepada sopir angkot, sesampainya di depan gang rumah ku, angkot yang kami tumpangi pun berhenti.
Saturday, June 20, 2009
Bandung 1999 (5)
Namun sepertinya Ricky semakin sering main ke rumah ku.
Aku pun mulai berpikir, aku untuk mengatakan dan meminta pada dia itu tidak melakukan itu, atau setidaknya jangan sesering yang dia lakukan akhir-akhir ini, tetapi tetap saja dia sering main ke rumah, dia bilang dia senang saja melakukannya, dari pada pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan menghabiskan uang saku.
Kadang aku berpikir aku sudah mencuri kebebasannya, bukankah sudah cukup wajar dijaman sekarang ini anak sesusia SMU sudah mempunyai pacar. Tapi ketika kutanyakan hal itu kepadanya, dia bilang dia sudah cukup senang dengan keadaannya saat ini. Mungkin dia memang tipe orang lebih memikirkan pelajaran sekolah dari pada berpacaran dalam hati ku berkata.
Aku pun mulai berpikir, aku untuk mengatakan dan meminta pada dia itu tidak melakukan itu, atau setidaknya jangan sesering yang dia lakukan akhir-akhir ini, tetapi tetap saja dia sering main ke rumah, dia bilang dia senang saja melakukannya, dari pada pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan menghabiskan uang saku.
Kadang aku berpikir aku sudah mencuri kebebasannya, bukankah sudah cukup wajar dijaman sekarang ini anak sesusia SMU sudah mempunyai pacar. Tapi ketika kutanyakan hal itu kepadanya, dia bilang dia sudah cukup senang dengan keadaannya saat ini. Mungkin dia memang tipe orang lebih memikirkan pelajaran sekolah dari pada berpacaran dalam hati ku berkata.
Sering Ricky memandangku dengan matanya yang hitam pekat, pandangan yang pasti bisa membuat jantung cewek-cewek bergetar. Tetapi tidak untuk ku, karena aku sudah sering menerimanya, meskipun pada awalnya dahulu sempat membuat ku sedikit salah tingkah namun kini aku bisa biasa-biasa menerima pandangan matanya itu. Kupikir memang begitu cara dia memandang seseorang.
Saturday, June 13, 2009
Bandung 1999 (4)
Gosip pun terus beredar, bahwa Ricky dan aku berpacaran. Padahal hingga saat ini belum sekali pun Ricky menyatakan cintanya kepada ku.
Baik dari teman-teman sekolah ku, mapun teman-teman sekolah Ricky, ku lihat banyak mata memandang dengan pandangan yang tidak biasa, diantara meraka ada yang berbisik dan terlihat sekali kalau sedang membicarakan kami. Entah ku pikir itu hanya feeling ku saja, dan aku memilih bersikap tidak peduli.
Tapi berbeda dengan Ricky, dia kulihat seperti salah tingkah, dan kupikir dialah yang sedang punya masalah.
Baik dari teman-teman sekolah ku, mapun teman-teman sekolah Ricky, ku lihat banyak mata memandang dengan pandangan yang tidak biasa, diantara meraka ada yang berbisik dan terlihat sekali kalau sedang membicarakan kami. Entah ku pikir itu hanya feeling ku saja, dan aku memilih bersikap tidak peduli.
Tapi berbeda dengan Ricky, dia kulihat seperti salah tingkah, dan kupikir dialah yang sedang punya masalah.
Dari hari ke hari berikutnya aku merasakan perubahan sikap Ricky kepada diri ku, perubahan yang begitu drastis. Belakangan ini Ricky sangat sering ke rumah ku, hampir setiap hari dari yang biasanya paling hanya seminggu sekali atau pun bila lebih dari itu, dia hanya datang untuk menjemput berangkat bersama ke sekolah.
Namun kali ini rasanya ada yang berbeda, Ricky suka datang ke rumah sore, bahkan pernah sepulang sekolah dia langsung saja mampir, sesekali Ricky suka juga datang sehabis matahari terbenam. Dia bilang sedang suntuklah, hanya ingin ngobrol, dan beberapa alasan lainnya yang tidak terlalu penting. Kupikir tak mungkin bagi ku untuk melarangnya ke rumah, dan sebagai teman dekat adalah sewajarnya bisa menjadi tempat berbagi cerita.
Namun kali ini rasanya ada yang berbeda, Ricky suka datang ke rumah sore, bahkan pernah sepulang sekolah dia langsung saja mampir, sesekali Ricky suka juga datang sehabis matahari terbenam. Dia bilang sedang suntuklah, hanya ingin ngobrol, dan beberapa alasan lainnya yang tidak terlalu penting. Kupikir tak mungkin bagi ku untuk melarangnya ke rumah, dan sebagai teman dekat adalah sewajarnya bisa menjadi tempat berbagi cerita.
Bandung 1999 (3)
Kebersamaan kami menumbuhkan rasa saling percaya, dan ku akui sejujurnya baru kali ini aku merasakan kebahagian memiliki sahabat setia. Sejak kecil aku merasa sangat asing sekali dengan persahatan, teman-temanku bilang aku anak cengeng, manja dan sebagainya sehingga jarang sekali ada yang mau berteman denganku. Aku jadi jarang bergaul dan waktu ku banyak ku habiskan untuk membaca buku dan belajar, tidak ada waktu untuk bermain.
Namun sejak aku kenal dengan Ricky, sepertinya dia mempengaruhi dan merubah diri aku. Banyak teman lain di sekolah yang mulai membuka hatinya, mereka jadi dekat dengan ku dan itu membuat ku senang. Banyak yang bilang, bahwa aku yang tadinya seorang “kutu buku” dan “cewek gunung es” itu sebutan mereka, bisa mencair karena seorang Ricky. Dan mereka mengatakan kalau perubahan itu terjadi setelah aku berpacaran dengan Ricky.
Lia, teman sebangku ku bercerita pada ku. Suatu saat Ricky datang untuk menjemputku sepulang sekolah, namun aku telah pulang lebih awal karena guru yang mengajar pada jam pelajaran terakhir tidak masuk, Ketika itu Ricky bertemu dengan Lia yang belum pulang karena mengurus mading sekolah.
Melanjutkan ceritanya, Lia mengatakan bahwa saat itu Ricky sempat bertanya pada Lia dengan kalimat "Gimana menurut loe, gw cocok kan sama dia?" dan Lia balik bertanya "Emang kalian belum jadian?" Dan balas oleh Ricky dengan jawaban "Ya... gitu deh..." diiringi senyuman kecil diwajahnya.
Namun apa yang mereka katakan itu tidak tidak ku pedulikan sama sekali, bagi ku “No matter what they say and no matter what they think” tentang aku dan Ricky, “I don't care at all”. Aku dan Ricky cuma teman, Ricky tidak pernah menyatakan dan menanyakan pada ku lebih dari itu, dan aku pun tidak pernah meminta lebih dari sekedar teman.
Namun sejak aku kenal dengan Ricky, sepertinya dia mempengaruhi dan merubah diri aku. Banyak teman lain di sekolah yang mulai membuka hatinya, mereka jadi dekat dengan ku dan itu membuat ku senang. Banyak yang bilang, bahwa aku yang tadinya seorang “kutu buku” dan “cewek gunung es” itu sebutan mereka, bisa mencair karena seorang Ricky. Dan mereka mengatakan kalau perubahan itu terjadi setelah aku berpacaran dengan Ricky.
Lia, teman sebangku ku bercerita pada ku. Suatu saat Ricky datang untuk menjemputku sepulang sekolah, namun aku telah pulang lebih awal karena guru yang mengajar pada jam pelajaran terakhir tidak masuk, Ketika itu Ricky bertemu dengan Lia yang belum pulang karena mengurus mading sekolah.
Melanjutkan ceritanya, Lia mengatakan bahwa saat itu Ricky sempat bertanya pada Lia dengan kalimat "Gimana menurut loe, gw cocok kan sama dia?" dan Lia balik bertanya "Emang kalian belum jadian?" Dan balas oleh Ricky dengan jawaban "Ya... gitu deh..." diiringi senyuman kecil diwajahnya.
Namun apa yang mereka katakan itu tidak tidak ku pedulikan sama sekali, bagi ku “No matter what they say and no matter what they think” tentang aku dan Ricky, “I don't care at all”. Aku dan Ricky cuma teman, Ricky tidak pernah menyatakan dan menanyakan pada ku lebih dari itu, dan aku pun tidak pernah meminta lebih dari sekedar teman.
Friday, June 12, 2009
Bandung 1999 (2)
Sejak saat itu aku berteman dan jadi dekat dengan Ricky.
Bagiku hubungan kami hanya sebatas teman tidak lebih. Tapi berbeda dengan pandangan teman-temanku, mereka menafsirkan lain. Hingga tersebarlah gosip kalau aku dan Ricky berpacaran. Namun aku tak perduli.
Ricky memang cukup manis, wajahnya cukup tampan, dengan tinggi badan sedikit di atas rata-rata anak laki-laki seumurannya. Ditambah lagi dia terlihat cukup pintar, dan menarik, aktif dalam pergaulan dengan menjadi ketua OSIS di sekolahnya. Memang dapat dikatakan Ricky sempurna untuk menjadi idola cewek-cewek.
Namun bagi aku, meskipun kami cukup dekat, buat ku Ricky hanyalah seorang sahabat.
Aku dan Ricky semakin akrab, kami sering berangkat sekolah bersama, karena ternyata kami tinggal berdekatan. Perumahan tempat tinggal Ricky hanya sekitar 300 meter dari gang rumah ku, apa lagi dari dalam perumahan tempat Ricky ada gang yang bisa langsung tembus kesebuah gang tepat ada di samping rumah ku.
Tak jarang pula Ricky main ke rumah ku untuk sekedar ngobrol-ngobrol. Dalam beberapa kesempatan, kami juga sering jalan keluar bersama, ke toko buku mecari buku pelajaran atau sekedar menghilangkan kepenatan.
Setelah sekian lama mengenal Ricky, aku menjadi sangat tahu sifat-sifatnya. Dia memang baik, cukup pengertian dan perhatian, meskipun cara berpikirnya dia agak serius, namun kadang kala dia bisa bercanda dan membuat ku tertawa.
Jika malam minggu kadang dia juga datang kerumahku, dan sesekali dia mengajakku keluar untuk sekedar makan malam atau nonton ke bioskop bila ada film bagus. Aku pikir tidak ada salahnya, setelah enam hari dipenuhi dengan segunung tugas-tugas dari sekolah, jalan bersama Ricky bisa menghiburku dan mengembalikan kesegaran pikiranku.
Kadekatan kami membuat kami seperti saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun demikian aku teguhkan hati ini tetap pada perinsipku sebelumnya, Ricky hanyalah sahabat baikku tidak lebih.
Bagiku hubungan kami hanya sebatas teman tidak lebih. Tapi berbeda dengan pandangan teman-temanku, mereka menafsirkan lain. Hingga tersebarlah gosip kalau aku dan Ricky berpacaran. Namun aku tak perduli.
Ricky memang cukup manis, wajahnya cukup tampan, dengan tinggi badan sedikit di atas rata-rata anak laki-laki seumurannya. Ditambah lagi dia terlihat cukup pintar, dan menarik, aktif dalam pergaulan dengan menjadi ketua OSIS di sekolahnya. Memang dapat dikatakan Ricky sempurna untuk menjadi idola cewek-cewek.
Namun bagi aku, meskipun kami cukup dekat, buat ku Ricky hanyalah seorang sahabat.
Aku dan Ricky semakin akrab, kami sering berangkat sekolah bersama, karena ternyata kami tinggal berdekatan. Perumahan tempat tinggal Ricky hanya sekitar 300 meter dari gang rumah ku, apa lagi dari dalam perumahan tempat Ricky ada gang yang bisa langsung tembus kesebuah gang tepat ada di samping rumah ku.
Tak jarang pula Ricky main ke rumah ku untuk sekedar ngobrol-ngobrol. Dalam beberapa kesempatan, kami juga sering jalan keluar bersama, ke toko buku mecari buku pelajaran atau sekedar menghilangkan kepenatan.
Setelah sekian lama mengenal Ricky, aku menjadi sangat tahu sifat-sifatnya. Dia memang baik, cukup pengertian dan perhatian, meskipun cara berpikirnya dia agak serius, namun kadang kala dia bisa bercanda dan membuat ku tertawa.
Jika malam minggu kadang dia juga datang kerumahku, dan sesekali dia mengajakku keluar untuk sekedar makan malam atau nonton ke bioskop bila ada film bagus. Aku pikir tidak ada salahnya, setelah enam hari dipenuhi dengan segunung tugas-tugas dari sekolah, jalan bersama Ricky bisa menghiburku dan mengembalikan kesegaran pikiranku.
Kadekatan kami membuat kami seperti saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun demikian aku teguhkan hati ini tetap pada perinsipku sebelumnya, Ricky hanyalah sahabat baikku tidak lebih.
Thursday, June 11, 2009
Bandung 1999 (1)
Ricky, sebuah nama yang baru aku kenal satu minggu ini. Dia siswa kelas 3 IPA dari SMU Negeri yang lokasinya berdekatan dengan SMEA tempat aku bersekolah.
Beberapa temanku yang wanita ada juga yang dijemput oleh pacarnya. Sedang aku masih berdiri ditepi jalan, sengaja menunggu angkot yang agak longgar, untuk mengantar kupulang sampai depan gang saja.
Hari itu, awan yang awalnya terlihat cerah itu tiba-tiba mendung. Satu per satu tetes air hujan berjatuhan dan mulai membasahi tubuhku. Pada saat itu seorang laki-laki yang tidak berbeda jauh usianya dengan ku, menawarkan untuk berpayung bersama, dia adalah Ricky. Karena disekitar tempat tersebut tidak ada tempat berteduh yang cukup dekat, aku menerima saja. Wajahnya Ricky terlihat ramah, berbadan yang ramping, dengan sikap ceria dan terlihat penuh semangat.
Lalu kami berkenalan, kebetulan tujuan kami searah, sehingga kami naik angkot yang sama. Kami pun lanjut berbincang, dan pembicaran kami bagaikan mengalir begitu saja, dengan sedikit canda ringan yang cukup membuat aku sedikit tertawa.
Tanpa terasa rumah ku sudah dekat, akhirnya kami berpisah karena aku harus turun lebih dahulu dan melajutkan sesaat perjalananku dengan berjalan kaki menelusuri gang kecil.
Subscribe to:
Posts (Atom)